
Suara Tabi – Sekretaris Pokja Adat Majelis Rakyat Papua (MRP), Yulius Irianto Ohee, menyerahkan Surat Keputusan MRP Nomor 15/MRP/2025 kepada Pemerintah Kabupaten Jayapura sebagai bagian dari komitmen lembaga untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, khususnya di wilayah Sentani Timur.
Penyerahan SK ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan penjaringan aspirasi masyarakat dalam Masa Sidang II Tahun 2025 yang mengangkat tema “Selamatkan Manusia dan Tanah Papua.”
Yulius mengatakan seluruh anggota MRP secara serentak turun ke wilayah masing-masing untuk mendengarkan langsung aspirasi masyarakat adat.
Di Sentani Timur, penjaringan aspirasi berlangsung dengan antusiasme tinggi. Hadir dalam kegiatan ini para Ondofolo, kepala suku, tokoh perempuan, tokoh pemuda, serta masyarakat umum.
“Penjaringan aspirasi ini menjadi wadah resmi masyarakat menyampaikan keluh kesah. Fokus utama yang disuarakan adalah masalah tanah dan hak ulayat, termasuk tuntutan ganti rugi atas pembangunan jalan alternatif Telaga Ria–Netar yang belum dituntaskan oleh Pemerintah Provinsi Papua,” ujar Yulius
Masyarakat adat menegaskan bahwa mereka telah mengizinkan penggunaan tanah untuk mendukung pembangunan jalan saat pelaksanaan PON, dengan janji dari pemerintah untuk menyelesaikan pembayaran ganti rugi. Namun hingga kini, janji tersebut belum terealisasi, sehingga masyarakat terus menuntut keadilan.

Sebagai respons konkret, MRP telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 15/MRP/2025 yang berisi empat poin penting:
1. Pendataan Orang Asli Papua (OAP);
2. Pemetaan wilayah hak ulayat masyarakat adat;
3. Pemberian insentif, rumah dinas, dan kendaraan dinas bagi pimpinan adat (Ondoafi, Sera, Mananwir, dan sebutan lainnya);
4. Penyelesaian ganti rugi atau ganti untung atas hak ulayat masyarakat adat yang digunakan untuk pembangunan.

Masyarakat Sentani Timur secara khusus meminta Pemerintah Provinsi Papua segera menindaklanjuti poin keempat, yakni penyelesaian ganti rugi jalan Telaga Ria – Netar.
Di sisi lain, dalam forum tersebut juga mengemuka penolakan terhadap rencana penambangan nikel di kawasan Gunung Cyclops, yang disebut akan dimulai dari Sentani Timur hingga Depapre. Tokoh adat Ondofolo Marthen Luther Ohee menyuarakan penolakannya secara tegas.
“Penambangan di Cyclops mengancam keselamatan manusia. Jika sistem air di pegunungan itu terganggu dan jebol, air bisa merembes dan menenggelamkan Sentani. Saya mewakili semua Ondofolo menyatakan, kami menolak tambang itu,” tegas Marthen.
Menanggapi hal itu, Yulius menegaskan bahwa MRP Pokja Adat juga secara kelembagaan menyatakan penolakan terhadap rencana tambang tersebut. Meski belum ada informasi resmi dari pemerintah, isu ini dinilai perlu diantisipasi karena dampaknya sangat luas.
“Dampaknya terlalu besar terhadap lingkungan, keanekaragaman hayati, dan sumber air. Maka sikap kami jelas: kami menolak. Ini demi keselamatan manusia dan Tanah Papua,” tegas Yulius.
Gunung Cyclops merupakan kawasan cagar alam yang menjadi sumber air utama dan penyangga ekosistem di Kabupaten Jayapura. Rencana eksploitasi tambang di wilayah tersebut menuai kekhawatiran besar dari masyarakat adat karena dianggap mengancam kelestarian alam dan keberlangsungan hidup generasi Papua di masa depan. (Isco)