JAYAPURA, PAPUA – Masyarakat adat Sub DAS Kaureh, Distrik Kaureh, Kabupaten Jayapura, mengumumkan akan melakukan penghentian sementara seluruh aktivitas operasional PT. SINAR KENCANA INTI PERKASA (PSM 7 REGION PAPUA KAUREH) secara penuh mulai Jumat, 7 November 2025.
Tindakan ini dilakukan sebagai respons atas tidak seriusnya tanggapan perusahaan terhadap tuntutan hak ulayat dan kewajiban plasma yang telah berlarut-larut.
Konflik ini berakar pada sengketa pemanfaatan hak ulayat atas lahan selama 30 tahun lebih lamanya, luas lahan sekitar 42.471-47.745 hektar, di mana perusahaan dituduh membuka perkebunan sawit tanpa persetujuan penuh masyarakat adat, menyebabkan kerusakan lingkungan seperti pencemaran sungai dan hilangnya sumber daya alam.
Upaya mediasi terus berlangsung, termasuk permintaan Pemkab Jayapura agar perusahaan transparan dalam program CSR dan kebun plasma. Namun, tidak ada tanda-tanda penutupan; malah, ekspansi sawit secara nasional berpotensi memicu lebih banyak konflik agraria, seperti yang diperingatkan dalam studi UGM tentang 150 kasus serupa di Indonesia
Penghentian aktivitas ini didasarkan pada landasan hukum yang kuat, yaitu UUD 1945 Pasal 18B Ayat 2 tentang pengakuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya, UU Otonomi Khusus Papua, serta Perda Kabupaten Jayapura No. 188.4/227 Tahun 2019 mengenai pengakuan wilayah hukum adat.
Tuntutan utama masyarakat adat meliputi: Plasma 20%: Pengembalian 20% kebun plasma dari kebun inti seluas 4.247 Ha kepada pemilik hak ulayat. Pembayaran Hak Ulayat: Pembayaran atas musnahnya hasil kekayaan alam sebagai harta warisan masyarakat adat.
Menurut Masyarakat adat ada Kegagalan sejak Negosiasi 8 Oktober 2025, yang mana Pertemuan telah dilakukan di Jakarta Pusat antara pimpinan perusahaan, CEO, dan perwakilan masyarakat adat. Namun, poin tuntutan pembayaran hak ulayat tidak direspons secara serius oleh CEO perusahaan.

Lalu 17 Oktober 2025 ada Aksi demonstrasi damai di lokasi pabrik dilakukan oleh masyarakat adat. Hasil aksi ini kemudian dikomunikasikan oleh Pimpinan Region Papua (RC) dan dibawa ke Pontianak untuk tindak lanjut.
Tindak lanjut dari itu pada 28 Oktober 2025: Penyampaian hasil tindak lanjut dari Pontianak kepada masyarakat adat di nilai tidak memuaskan dan tidak sesuai dengan dasar tuntutan yang diajukan oleh 12 Kepala Suku pemilik hak ulayat.
perlakuan Perusahan terhadap Masyarakat adat berkesan tidak adil dan tidak ada jaminan berkepastian, masyarakat adat Sub DAS Kaureh memutuskan untuk mengambil tindakan penghentian sementara operasional perusahaan.
Langkah ini bertujuan untuk mendesak diselenggarakannya Pertemuan Tripartit yang diharapkan dapat memberikan tanggapan serius dan solusi mengikat terhadap aspirasi masyarakat adat.
Dalam tuntutan mereka, Masyarakat adat mengundang kehadiran langsung Frengky Widjaya (Pimpinan Tertinggi Perusahaan PT. Sinar Kencana Inti Perkasa), Bupati Jayapura dan Ketua DPRK Jayapura, serta Tim Pansus Kelapa Sawit MRP Papua.
Salah satu Tokoh Adat Oktim Nimbrod Yamle melalui ” soundbite ” yang di kirim ke Bidang Informasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN JAYAPURA menyampaikan rasa kekecewaan yang mendalam yang dirasakan oleh masyarakat adat selama 30an tahun terhadap perlakuan PT Sinar Mas II Grup (kini PT Sinar Kencana Inti Perkasa).
Ia menyoroti kronologi penipuan pihak perusahan sejak awal operasi, di mana perusahaan gagal menjelaskan dampak lingkungan, menggunakan berita acara sebagai formalitas, dan memberikan uang Rp 130 juta sebagai “penghargaan” yang kini dianggap sebagai bentuk manipulasi.
Pembukaan lahan masif (dengan 15.000 hektar lebih sudah ditanami) diikuti aksi pemalangan pada 2001, 2008, dan 2012 yang dijawab dengan kekerasan aparat, sementara CSR senilai Rp 5 miliar (seperti trek, rumah, gereja, dan sekolah) dianggap tidak sepadan dengan kerusakan ekosistem.
Yamle juga Menyebutkan Keterbatasan pendidikan Masyarakat Asli suku Oktim dan Oria di wilayah Yapsi/Kaureh di jadikan Potensi manipulasi segala bentuk ketidak adilan, hutan dan wilayah adat kami di manfaatkan untuk kepentingan Koorporasi mulai tahun 80an dengan masuknya PT. Yolim Sari dengan Ijin HPH, sekitar tahun 1992, negara melalui Kementrian Kehutanan mulai Melakukan Promosi hutan-hutan di Papua, termasuk hutan yang ada di wilayah adat kami, sehingga hutan kami diambil oleh investor Sawit ( PT. Eka Wijaya) yang merupakan salah satu perusahan dari Sinar Mas II Group, sejak tahun 1992 perusahan mulai melakukan pembabatan dan penebangan hutan, di tahun 1994 baru mulai keluar berita acara pelepasan lahan yang di buat di jakarta pada tanggal 23, Maret, 1994 atas Nama Bintang Aryana
Selanjutnya Hutan Kami jadi Potensi bisnis banyak kalangan sehingga 1990an keatas, banyak IPK mulai muncul untuk mengolah kayu, salah satunya Perusahan Andatu yang mengantongi Ijin IPK
Masyarakat adat berharap pimpinan perusahaan dan seluruh pihak terkait dapat memahami dan menindaklanjuti permintaan ini demi terciptanya keharmonisan dan penyataan kepastian hukum atas hak-hak dasar masyarakat adat. (ok)